Wednesday, March 31, 2010

Kenangan Sepak Bola Di Jalan Jambu

Berbicara tentang sepakbola daerah, aku teringat soal kenangan dahulu kala (yah, sebenarnya tidak terlalu lama juga sih, aku sekarang kelas 8 - kenangan ini ketika aku kelas 4-6, jadi 2-4 tahun yang lalu).
Saat itu aku adalah murid pindahan baru, di PEIS - Pakistan Embassy International School (sekolah Internasional punya kedutaan Pakistan), waktu itu bertempat di Jl. Jambu, Gondangdia, Menteng. Sekarang kabar terakhir sekolah ini sudah pindah tempat ke Sunter, berubah nama menjadi AIMS - Alama Iqbal Memorial School (Berusaha meniru sukses Gandhi Memorial School).
Ada apa sodara-sodara? Sepakbola kala di PEIS di Jl. Jambu sangatlah…berbeda, dari sekolah yang lainnya - mungkin saja, kami bisa dikategorikan jauh ketinggalan fasilitas bahkan dibandingkan dengan level SD Negeri khas Jakarta. Well, supaya tidak jauh penasaran - saya mulai saja ceritanya yak.
Awalnya aku adalah murid baru saat kelas 4, pindahan dari SDI Al-Falah yang berada di Kelapa Dua Wetan, Cibubur (kenapa jauh-jauh sekolahnya? Padahal rumahnya di Pejaten). Faktor pemindahanku lumayan banyak - mulai dari distance alias jarak dari rumah, lalu uang sekolah yang makin lama makin mahal (angka figur 7 digit rupiah / bulan, dan terus naik!), dan juga sistem full-day school dimana aku akan menghabiskan waktu di rumah kemungkinan hanya untuk makan dan minum; bayangkan, pulang jam 4 lebih. Dan dengan kemacetan Tol Cibubur sampai ke Ps. Minggu? Dan belum lagi kemacetan sore Ps. Minggu sampai Pejaten? Wah, keok aku lama-lama bisa, tapi sudah cukup terbiasa sih.
Suasana PEIS jauhlah berbeda dengan atmosfir yang ditampakkan oleh Sekolah Internasional pada umumnya - tempat PEIS di Jl. Jambu tak jauh berbeda dengan sebuah villa, dan ya, betul, itu karena memang gedungnya dulunya adalah guesthouse punya Kedutaan AS.
Lalu lapangan untuk bermain bolanya, kalau kata orang luar - ini bukan lapangan. Dan memang aslinya bukan lapangan; aslinya adalah tempat drop para supir jika sedang hujan; dimana dari situ kami (aku dan teman-teman) bisa langsung masuk ke kelas tanpa kehujanan.
Ya, lapangan itu tak lebih sekitar 10-20 m saja, dengan lebar paling besar 15 m, itupun agak zigzag karena ada titik-titik yang ‘terhalang’ oleh rimbun dedaunan, pos satpam depan, dan semacamnya. Seperti halnya tempat drop yang merupakan jalanan, ‘lapangan’ kami ini adalah jalanan pula; batu - conblock. Bayangkan saja kami bermain disana. Apakah lapangan terlalu kecil - jika kami bermain bersama seluruhnya maka, ya, sangat kecil dan akan sempit dan rusuh - tetapi tidak jika hanya digunakan 1-2 kelas (maklum, satu kelas di PEIS saat itu hanya sekitar 10-20 orang saja).
Lalu bagaimana kami bermain? Kami bermain seperti biasa, main saja - untuk batas gol, kami gunakan sepatu atau kursi bekas dari gudang untuk sisi jauh, dan untuk sisi dekat, sudah dibatasi oleh ‘jendolan’ di dinding, sehingga kami bermain saja terus. Kami bermain layaknya anak-anak lain. Tidak dibatasi oleh kewarganegaraan kami yang berbeda-beda; kelasku saja terdiri dari anak-anak dari Indonesia (tentu), Pakistan (pasti), India, Afghanistan, Azerbaijan, Bosnia, Arab, Iran, Vietnam, Myanmar, Korea dan Yaman - sepakbola dan lapangan depan itu menjadi ‘melting pot’ batas-batas sosial kami; disitulah, dengan bermain bola bersama kami belajar mengerti satu sama lain - menjadi suatu tempat sosialisasi; dari sepakbola lah, saya mulai tahu beberapa kata dari bahasa masing-masing, dan mereka perlahan-lahan tahu Bahasa Indonesia pula; sebuah bukti konkrit betapa sepakbola bisa menembus batasan budaya dan dengan sendirinya menjadi medium untuk sosialisasi. Meski terkadang ada perbedaan antara peraturan dan pandangan/POV (Point-of-view) yang membuat kami sedikit berantem, tapi tetap tidak dibawa keluar lapangan; masalah lapangan tetap di lapangan. Dan kami selesaikan dengan membuktikan siapa jawaranya.
Soal fasilitas individu, seperti bola, kaos, atau bahkan sarung tangan - jangan diremehkan, namanya juga anak-anak dari Dubes dan kawan-kawan pasti sudah memiliki; untuk itu kami membawa masing-masing, kadang kami saling bertukar minjam-meminjam. Jika yang satu memiliki sarung tangan, kadang ditukar dengan pelindung lutut, dan semacamnya.
Meskipun dalam keterbatasan lahan, kami tetap bermain dan tetap berprestasi - dalam keterbatasan ini kami memiliki determinasi kuat untuk menunjukkan ke sekolah lain kalau kami tidak kalah dari mereka; oleh karena itu, ‘para dewa’ kami yang terpilih, akan dilatih. Oleh siapa? Waktu itu kami tidak mempunyai guru olahraga formal - lalu siapa guru olahraga kami? Tidak lain tidak bukan adalah seorang pramubakti/OB yang luar biasa, muda dan bersemangat, namanya mas Yogi. Ucapan populernya yang paling saya ingat adalah ketika ada anak yang makan roti, dia pasti selalu mendekat dan berbicara “Bagi roti.” Kasihan.
Yogi ini adalah seorang motivator ulung; perjalanannya sendiri hingga akhirnya terdampar sebagai seorang OB pun tragis - berumah di Parung, dia berangkat pagi-pagi sekali, malah kadang tidak pulang ke anaknya agar tetap berada di Jakarta. Dulu dia pemain yang bagus; masuk Persija U-17, tapi dibuang karena banyaknya kisah tragis mengenai praktik ‘Suap Bakat’ - dia tidak memiliki uang dan harus keluar. sayang sekali, mas Yogi. Dia, lulusan SMA, tidak tahu mau kemana, akhirnya mengabdi disini menjadi seorang…OB.
Tapi semangatnya tidak padam, ketika ‘para dewa’ sepakbola kami memutuskan untuk ‘go global’ alias menjajal kompetisi sepakbola disekolah lain, Yogi pun diangkat menjadi Coach mereka - seringkali mereka berhasil. Yogi pun mendapatkan bonus pula untuk bagiannya, tatkala itu ia tidak meminta roti untuk 2 minggu. Aku bertanya, dia jawab. “Alhamdulillah, kan, kenyang gue.”. Sayangnya ia tidak dijadikan guru Olahraga, ia tetap menjadi OB. Kasihan, sang unspoken hero; pahlawan yang tidak tertuturkan ceritanya. Kasihan sangat.
Hari demi hari berlalu di PEIS, lapangan lama itu kami tetap gunakan - bulan demi bulan, dibawah tangan Yogi dan para senior, kami berhasil membangun sebuah tim futsal yang kokoh, yang namanya disanjung di antara kami, dan cukup menjadi momok untuk beberapa lawan di beberapa kompetisi futsal di area Jakarta Pusat, Timur, dan Utara. Tapi di area Jakarta Selatan kami masih kalah.
Aku sendiri, memang kurang jago bermain bola. Yah, sejago-jagonya aku, aku hanya pernah membuat gol 8x (tidak termasuk Penalti) selama 8 tahun pembelajaran dari SD sampai SMP ini. Sebagus-bagusnya aku aku selalu ditempatkan sebagai Bek Sayap, Wing Back. Atau sebagai gelandang bertahan, Defensive Midfielder. Orang-orang memang cukup takut ketika akan melewati aku - tackle ku keras, dan aku susah untuk dilewati, bahkan jika orang yang melawanku adalah master dribble.
Lapangan itu tetap tidak berubah, fungsinya juga tidak berubah - dari sinilah betapa aku belajar bahwa sepakbola adalah sebuah bahasa universal yang dapat mempersatukan semua bangsa.
Benar-benar sebuah kenangan sepakbola yang tidak bisa dilupakan dan patut untuk dituturkan. Patut untuk dikenang.
M Arkan, 31032010

Thursday, March 4, 2010

Sekadar ingin berbicara kata-kata baik saja....

Sekarang ini sudah marak yang namanya 'seni' yang menjamur di masyarakat. semua memiliki alasan masing-masing,,, Tapi sesungguhnya, menurut saya sendiri yah...
Wah, bingung nih, piye ngomongne. Yo wis todepoin aja dah

Baru saja, ni nih yg terbaik - sebuah kesimpulan yg terbuat dari buah pemikiran sendiri
Dalil Arkan pasal: 'Seniman':
"Esensi seniman ialah dia yang menuangkan pikirannya dalam karya yang mampu menyuarakan seribu kata dan menggugah seribu jiwa."

Singkat, itu doang. Disini saya cuman pingin ngomong sesederhana ini - seni itu adalah karya yang merupakan representasi, alias penuangan pikiran. Dan bukan sekadar itu, tapi seni itu dapat menyuarakan banyak hal, bukan monotonik - bukan searah, tapi banyak cabangnya. Selain itu, yang tentu membuat seni menjadi seni adalah; bagaimana ia menggugah jiwa orang lain, meng-influence nya. Disitulah esensi seni. Mereka, orang2 yang berani menyuarakan pikiran dalam bentuk karya menggugah dan bermakna, merekalah seniman sesungguhnya. Bukan orang yang menggarap seni demi uang, menggarap demi martabat, tapi sekadar untuk menyebarluaskan opini saja. Itulah, menurut saya, esensi seorang seniman...

(Gw ngomong ni masalah, coz ngeliat ud makin banyak aj org2 yg yah...sekadar nyeplos2an di kerja (ok, ini menyinggung soal DPR) dan karya seni (menjamurny band2 ngasal yg jujur membuat gw pemerhati musik jadi resah soal kualiteit).

Pedjaten, Jakarta
04032010

Monday, February 22, 2010

Do'a Hidup

Ahhh...sekarang lagi 'pinned down' sama 'artillery barrage' ny yang namanya virus Salmonella Typhi alias TYPHUS. berdo'a zikir terus pagi malem buat sembuh n minta doa dari orang lain juga. Waktunya mendekat kepada YME (Sayangnya sifat hanya begini kalo lagi sakit atau susah masih sering ada dalem diri gue)

Anyway ngomong2 soal do'a...
Apakah anda sudah punya do'a hidup?

Ya, do'a hidup sendiri itu adalah do'a yang menjadi tegak komitmen tiap hari - do'a yang selalu diucapkan tiap hari yang merupakan landasan buat kehidupan anda selalu. Banyak orang besar yang mempunyai do'a khusus personal mereka, seringkali mereka bagi kepada orang lain tentu selain untuk menebar kebaikan diantara kita semua ialah untuk menambah kebaikan diri mereka - contoh saja Benjamin Franklin, dan Abu Nawas.

Saya sendiri sudah punya do'a kehidupan, rutin diucapkan tiap hari 5x minimal - ini komitmen untuk kehidupan selalu. Untuk apa yang saya perbuat ada landasan pada do'a ini.

Do'anya singkat saja, tidak terlalu banyak, tapi straight to the point:
"Ya Tuhanku janganlah engkau ambil nyawaku sebelum aku melihat dunia yang sesungguhnya - dari pegununganMu hingga dalamnya lautanMu, dari dinginnya kutubMu hingga panasnya gurunMu. Dan dari kekayaan yang Kau pinjamkan hingga kemiskinan yang Kau cobakan."

"Ya Tuhanku janganlah engkau ambil nyawaku sebelum aku sanggup melakukan sesuatu yang berguna di dunia ini - biarkanlah aku menebar kebaikan dan menjadi teladan untuk semua umur dan zaman sebagaimana para wali dan kekasihMu telah lakukan."

 Dari sini saya ambil teguh komitmen untuk selalu menjadi berguna dalam kehidupan. Dan untuk menjelajahi dan meneladani setiap point dari kehidupan sendiri, dimanapun dan kapanpun. Untuk menjadi observan namun tetap aktif bekerja. Itulah.

Sayangnya semua ini tidak bisa dilakukan sekarang karena sakit...oleh karena itu - bersyukurlah orang-orang sehat! Dan jangan lengah sampai sakit seperti saya ya!!!

Setidaknya untuk kebaikan saya saya menulis ini di blog, untuk tetap menebar kebaikan.

Jadi, bagaimana, sudahkah anda memiliki 'do'a kehidupan' anda? Mulailah dari sekarang, sehingga tonggak canangan untuk kehidupan terlihat jelas.


Pejaten, Jakarta, 22022010
*From my sickbed*

Wednesday, February 17, 2010

Puisi Tiga ; Perjalanan Jiwa

 Perjalanan Jiwa

JIWA (TERBANG)
Nun jauh bahkan tak terlihat oleh mata
Lantunan nada merdu terdengar tanpa kata
Namun ketika kutajamkan telinga
Terdengar suara yang membekukan raga

Melayangkan nalar hingga
Jiwa pun terbang lega
Melayang ke langit malam
Dingin nan hitam

Pelahan terbang jiwaku
Menelusup kegelapan kaku
Menembus batas wajar perilaku
Menjadi sebuah fondasi paku

Menuju tempat mulia
Nan firdausi penuh ceria
Dimana waktu berhenti
Dan semua yang lain seakan mati
Seakan dunia hanya milik berdua nanti

Semua seakan aku telah merasakan
Kedamaian hari esok dalam impian
Genggaman tangan erat seorang kekasih idaman
Jiwaku telah terbang dalam cinta penuh keeratan

JIWA (DIATAS AWAN)

Nun jauh bahkan tak terlihat oleh mata
Lantunan nada merdu terdengar tanpa kata
Namun ketika kutajamkan telinga
Terdengar suara yang membekukan raga

Langit telah aku tembus
Jiwaku berjalan melayang terus
Tanpa perasaan beban yang menggerus

Jiwakupun melawan kenyataan sudah
Waktu dibuatnya seakan tak berharga dan rendah
Bahwa penantian satu kehidupan adalah
Kebiasaan belaka dalam proses seribu abad dimana kalah
Adalah jawaban yang tidak akan didapatkan pada akhiran dimana kita berserah

Engkaupun hadir didalam jiwa yang dulunya membatu
Bukan sekadar melengkapi kebersamaan
Namun bahkan menyatu dalam jiwa dan raga satu

Sungguh nalarku telah berhenti
Jiwaku kini telah merasa tinggi lepas dari kotak peti
Yang dulu menguburnya dalam kekejaman kesengsaraan tak berhati

Jiwaku mulai melangkah
Dalam suatu impian yang mungkin kenyataan terarah
Mengenai kesatuanmu denganku disini
Jiwa pun terasa hidup dengan ini
Kesakitan seluruhnya musnah bagai habis perang
Aku pun melihat esok yang lebih terang

Sekalipun bukan kenyataan
Semuanya terasa indah dan bergelimpangan
Cinta dimana-mana
Jiwaku memang menembus awan sana

JIWA (KEMBALI)
Nun jauh bahkan tak terlihat oleh mata
Lantunan nada merdu terdengar tanpa kata
Namun ketika kutajamkan telinga
Terdengar suara yang membekukan raga

Bagaikan sangkakala
Isyarat ini membunyikan pertanda pula
Bahwa telah waktunya kembali pada realita
Tibalah untuk jiwa kembali ke cangkang pelita

Aku kini percaya
Dengan kekuatan dan ketegaran
Yang tersurat dari kelembutan

Sekarang aku mulai berfikir
Tidak secara depresif namun secara partikulir
Secara menyenangkan bukan dengan siksaan berdesir

Mengenai hari-hari kita yang telah lalu
Yang kita lewati hanya dalam rasa biasa dan pahit
Hingga lidahpun menjadi berasa kelu
Aku berfikir untuk mengubahnya tanpa berkelit
Agar hidup terasa sangat nyata
Agar cinta terasa sama rata
Agar semua menjadi kebahagiaan abadi dalam realita

Jiwaku telah kembali lagi
Dan ku akan mulai esok pagi
Dengan semangat baru ini

Tuesday, February 16, 2010

Faults of a Modern Man

Hari ini tidak usah banyak-banyak, cuman ingin memberi tahu saja - 3 kesalahan orang-orang Moderen jaman sekarang.
Ya, kesalahan orang-orang 'berkelas', yang kebanyakan termakan kelicikan dan kegelapan kehidupan urban dan kelam
 Gue pingin bahas, coba kasih nasihat berarti. Woke?

-COBA RENUNGILAH-

1. Jangan hanya mengingat-ingat kesalahan orang
Tapi ingatlah pula....
Kebaikan orang

2. Junjunglah Keadilan
Jangan menilai kesalahan teman sebagai kebenaran
Dan jangan nilailah kebenaran lawan sebagai kesalahan

3. Janganlah menjauhi
Mereka yang dianggap salah
Justru dengan itu ia akan semakin tenggelam
Dan semakin rentan kepada kesalahan kejahatan
Tapi dekatilah mereka dan berikanlah nasihat
Berikanlah dukungan
Jangan sekadar diam tak tahu
Atau malah menjauhi tanpa alasan riil


Well sekian for today
Semoga bermanfaat

Arkan
BlackBox Pejaten
15022010

Monday, February 15, 2010

Vacum Reignis?

Vacuum Reignis? Vacuum of Reign? Vacuum of Power?

Ya, ini ungkapan yang biasa didalam pandangan seorang pengamat sejarah, antrop, maupun sosiopolitik.

Namun dalam kasus ini lagi-lagi dimaksudkan adalah, well well well - betapa lama nya gue udah gak nge blog. Sumpah ternyata terkadang kita adalah makhluk pelupa (apa lagi saya yang diberkati rahmat sebagai orang pelupa - dimana biasanya hanya enjoyment yang ngebikin gue tetep inget ama hal maupun orang).

Seperti halnya Vacuum Reignis, terjadi kekosongan pikiran dan emosi yang tidak sempat ditumpahkan. Wakakakx, gila. Memang terkadang dalam dunia Vacuum Reignis dijadikan kesempatan mengambil alih dasar kekuatan untuk menjadi...satu kans alias kesempatan/oportunitas untuk membuat langkah fondasional ke arah yang lain, contohnya kemerdekaan Indonesia. Adapun yang lainnya, Vacuum Reignis justru diambil alih oleh musuh dan justru menjerumuskan kedalam kesengsaraan lebih dalam - nah ini, contohnya gue.

Yah, terjadi banyak perdebatan mengenai La Princesseses del Mon Coeur (Princesses of My Heart).
PS: (I'll tell u about that later on).

Yah, kali ini pada akhirnya aku tersadarkan untuk menulis kembali - terima kasih kepada blackblue-fusion.blogspot.com yang menyadarkan gue, bersama juga dengan...Mr. Mutant aka KambinGunung, the last idealogical berserker from the land of Karo (Prajurit "Penyerbu Pengamuk" Idealogis terakhir dari tanah karo).

Anyway thank you all, akan gue ceritain lagi tentang all the things about this Vacuum Reignis.