Sunday, May 8, 2011

Pernak-pernik Bumi Ngapak : Power of Prayer

Sedikit pernak-pernik tentang doa hari ini....

Ini memang tanda kebesaran kalau doa dan keyakinan yang besar dapat berbuah hasil yang maksimal.

Sejak kemarin hujan telah melanda Karanganyar & daerah sekitarnya, semuanya tak tentu - dari panas bisa langusng hujan deras kayak badai yang bikin nyeremin, kadang juga udah mendung petir-petiran ga ada hujan....dan hari ini aku sudah plan untuk menjelajah pantai selatan, Karangbolong dan Petanahan...dan siangnya makan siang di Ambal, mencari sate Ambal yang asli... sebelum kembali ke Karanganyar....

Aku sudah berdoa dari kemarin2 agar pada saat ke Petanahan dan Ambal the weather is fine. Berkali-kali semua lafalan doa di ucapkan, mulai dari sekedar Al-Fatihah sampai wirid-an komplit yang terhafalkan dikepala, diucapkan, kala solat dan kala hujan, dan mendekati momennya, semakin sering....

Sampai Karangbolong, hujan masih datang, imanku goyah, harus pasrahkah diri ini? TIDAK, tetap berdoa sepanjang jalan, cerah sampai Petanahan, sampai Ambal, sampai kembali ke Karanganyar.

Memasuki Petanahan, jam 9.30 awalnya masih hujan, dan aku tetap berdoa, aku ke WC sebentar karena sudah kebelet, setelah itu ke area pantai...dan....HUJAN BERHENTI, langit biru, tidak panas, tapi cerah, Perfect Weather as I wished. Kegiatan mengamati kehidupan, berburu foto dan menikmati penganan di pinggir pantai pun terlaksana sentosa. Semua berlanjut hingga makan siang di sate Ambal pak Kasman dan terus sampai Karanganyar....

Ternyata benar, kalau kita tetap berdoa, bahkan di saat-saat terakhir tetap percaya dan berdoa. Semoga Tuhan menghendaki, Insya Allah....doa itu terwujud....

Tapi ada satu saran lagi, ini kan soal cuaca, jadi benar-benar pasrahkan pada Allah....tapi kalau soal lain yg pake usaha, ya usaha dulu.

Saturday, May 7, 2011

Crashpack Bumi Ngapak (Pernak-Pernik) : Gowes...terus (?)

Lagi, sedikit cerita dari Karanganyar....

Sampai hari ini, ada satu kisah kecil yang aku selalu suka akan kota ini. Tidak seperti kota lainnya di Jawa, jangankan Jawa, cukup Jalur Utama Pantai Selatan saja, penggunaan sepeda di kota ini masih tinggi - belum kalah tempat oleh motor.

Semua generasi di kota ini, komplit lah pokoknya - pagi-pagi anak sekolahan SD-SMP-SMA semua, dengan sepeda mereka ada. Tak ketinggalan para kaum ibu berbelanja di pasar dengan sepeda, juga para bapak-bapak yang bekerja, siang sore juga sama.

Lebih uniknya lagi, mayoritas sepeda yang terlihat dengan mata selama ini....adalah apa? Sepeda Onthel alias sepeda tua jaman 60-70an....dengan merek yang mungkin sekarang di kota sudah jarang melihat....contohnya sepeda buatan China dengan merek Phoenix....ya, tidak salah lagi sepeda Onthel, dan mayoritas masih terawat bagus....*sayangnya punya mbahku nggak begitu*

Sepeda onthel, bukan sepeda konvensional atau MTB ataupun Fixie yang sedang marak di Jakarta....ini Onthel, asli.

Pertanyaan kini, sampai kapankah sepeda bisa menjadi tren transportasi di kota kecil ini? Sementara gencaran produk Motor makin marak? Namun hipotesa lainnya, justru apakah, dengan seperti ini, justru Karanganyar dapat menginspirasi kota-kota lainnya untuk bangkit melawan serangan produk motor yang gencar dan justru menjadikan gaya hidup tradisional nan bermanfaat ini sebuah era mekar kembali? Sayangnya semua itu harus dilakukan dengan niatan baik dan teguh....

Impianku, semoga hipotesaku itu bisa terwujud. Amin.

Love, peace and respect, untuk semua pengguna sepeda sebagai transportasi utama di Indonesia.

Crashpack Bumi Ngapak (Pernak-Pernik) : Udhan (maning) !

Hari itu Jumat, ba'da Jumatan, aku rencana pergi menulusuri pantai selatan asli, dari Karangbolong hingga Mirit....dengan highlight di Petanahan....

Ternyata rencana itu gagal, hujan tiba-tiba datang....sangat kencang, aku sampai ngeri, mumpung soalnya rumah Mbahku, seperti banyak rumah tua Jawa pada umumnya, dikelilingi kebun yang banyak pohon....

Hujan itu awalnya cepat, hanya 1/2 jam. Namun tak sampai 10 menit turun lagi, kali ini lebih dahsyat dan lebih ngeri. Sampai jam 4.30 belum reda, dan akhirnya reda sepenuhnya jam 5. Maghrib (yg waktu setempat jam 5.35) turun lagi namun hanya sebentar dan gerimis saja. Malamnya jam 7 turun, tapi seperti Hujan Jakarta - Deres, Berangin, Cepet.

Esoknya hujan datang lagi siangnya, dan hari sebelumnya, kamis, di pagi hari hujan terus sampai Zuhur.

Anehnya semua ini terjadi sekarang di bulan Mei. Yang seharusnya tidak hujan dan malah harusnya panas...

Global Warming memang sudah terjadi kawan, bahkan di pojok kecil dari dunia ini, di kota kecil ini, efeknya sudah terjadi....terlihat pula ada distorsi dari siklus pertanian disini....

Perubahan iklim ini memang tanda besar bahwa kita telah berbuat bencana, manusia sendiri yang meghasilkan semuanya.

Pertanyaannya, seberapa jauhkah semua ini akan berlangsung? Akankah kita mampu mengubahnya? Dan mampukah kita beradaptasi dengannya? Setidaknya, para petani, di daerah ini, telah memulai beradaptasi....mengubah kalender panen dan tanam Jawa yang sudah ada berabad-abad sebelumnya....

Marilah kita merenung sesaat.

Crashpack Bumi Ngapak (Pernak-Pernik) : Cah Ngampung Ngomongne Pek-Bhe

Sekilas pernak-pernik dari Karanganyar....

Terjadi tepat kemarin, saat baru menemukan warnet di sekitar Jalan utama yang dilintasi Jalan Utama Pantai Selatan...

Sudah sekitar jam 8.30, baru saja aku pergi dari Pasar Malam di sisi Barat Alun-alun, ingin menulis semua pengalaman hari itu, hari pertama crashpacking ke tempat ini.

Masuk-masuk ke warnet itu, tidak kalah dengan warnet di Jakarta, mumpuni, AC, komputer bagus....headset dan pernak-perniknya....pokoknya kalo disetarakan dengan warnet rata-rata di Jakarta setara lah.


Di tempat sebelah ku ada jejeran 3 anak, bermain game, malem-malem seperti ini : PB mainannya, gak kalah sama anak Jakarta. Ya, PB alias Point Blank - mainan FPS alias First Person-Shooting, tembak-tembakan modern, macam-macam CS/Counter Strike....ya hampir semua orang game tahu.

Awalnya mereka masih kalem, diam....fokus, gaya player yang talk less do more dari observasi awalku. Ternyata baru 3 menit aku buka blog ini, mulai lah terlihat sisi aslinya. RIBUT. Sangat ribut. Andai saja tidak ada Pejuang/Pahlawan bernama Cilik Riwut yang namanya diabadikan sebagai nama Bandara di Kalimantan Tengah (kalo gak salah), yang satu ini mungkin aku sindir dengan namanya.....

Mereka mulai menyalak sana sini, komentar dengan gamenya....

"Lha ko iso nembus? Wah nge-cit yo...."
"Tembakke bae yo nang kono...."
"Bos kabur....ning iku mawon bokong dolanane...."

Mulai dari menyalak yang strategis, kritikan terhadap yang main curang, sampai luapan kebahagiaan pun juga ada...

"Yes! Ngono to, matikno ko'en"

Bahkan, kadang, "kebun binatang" pun keluar komplit dari tiga mulut-mulut kecil itu!

"Ng-as*, alah...."
"Wah, telek wedhus!"


Sebagai remaja yang juga kadang main game di waktu luangnya, ya aku ngerti lah. Tapi mereka ini ternyata SUANGAT RIBUT, melebihi suasana ribut nge-game yang aku tahu. Dan ng-aneh nya, mereka ttep ribut meski sekalipun di daerah campur nge-game dan nge-net....kalau di beberapa tempat di mana tempat nge-game dan browsing saja campur, kadang mereka gak berani...

Yah, ini tanda perubahan. Sekalipun Karanganyar ini adalah tempat yang aku berani bilang dengan komentar yang sama dengan seorang penulis travel terkenal mendeskripsikan mengenai Vientiane, ibu kota Laos...
"a place which changes, but doesn't have any urgency to do it quick. An impression of a time warp..." Sebuah tempat yang tidak ingin terburu-buru untuk berubah, masih tradisionil, perubahan sudah datang ke tempat ini - dimana pemandangan macam ini aku tidak temui setahun yang lalu saat mudik Lebaran....

Dan hebatnya lagi, pemandangan itu datang cukup cepat. Kurang dari satu tahun cukup cepat untuk kota kecil macam ini.

Separah apakah kedepannya? Entah.

Friday, May 6, 2011

Crashpack Bumi Ngapak (II): Masing-masing berjalan sendiri

Last Episode: Sepurne ngadat, ngadat di Cirebon, lalu Ketanggungan, dan Prupuk. Setelah itu kereta Sawunggalih Bisnis itu berjalan lagi, ia berusaha untuk mencapai kecepatan maksimal tapi tidak bisa - terrain alias daerah yang kami lewati sore itu, antara waktu Zuhur dan Ashar, adalah daerah Bumiayu dan kaki Barat Gunung Slamet, berlika-liku kelak-kelok, tidak bisa cepat, tapi aku nikmati saja.

Cuaca saat itu bagus. Tidak hujan, mendung sedang dan tidak panas. Itu cuaca bagus di daerah Gunung. Memang jelas ada kabut, tetapi dari kereta ini aku masih bisa memandang cukup jauh keluar; ya, ini bagian favoritku - setelah selama kurang lebih 4 1/2 jam berjibaku dengan Jalanan Pantai Utara yang datar dan hanya menghadirkan pemandangan statis - sawah-kota-sawah-kota secara bergantian, akhirnya kami naik ke Gunung, pemandangan spektakuler sudah menunggu kami penumpang.

Daerah ini memang indah, saat aku dan keluarga biasa mudik dengan mobil daerah ini memang sangat indah. Apalagi dengan kereta...di kanan-kiri, kami lewati bermacam pemandangan - diawali dengan ladang bawang dan jagung (di daerah Prupuk), semakin naik kami lihat sungai-sungai besar di himpit oleh sawah yang bertingkat, sebuah pemandangan indah dengan para petani masih bertani mencari nafkah, suatu tempat indah untuk menghilang dari peradaban. Kereta terus berjalan dan kami melihat pemandangan yang lain lagi, kini kami ada di atas batuan, tepi tebing, kanan kami jurang namun itu jurang yang indah. Memang kalau di tempat-tempat seperti ini pemandangan indah selalu. Aku mencoba foto tapi, sialnya, ada air banyak di kaca, tapi tidak mau hilang - ternyata itu basah dari luar. SH**, pasti gara2 hujan sebentar di Cirebon tadi. Ke kanan, penumpang lain masih asik saja, sehingga aku tak bisa mendapat view bagus. Ya sudah, nasib.

Meski pemandangan sangat apik, tapi jalan yang kelak-kelok apalagi hawa dingin itu membuat ngantuk. Aku ingin tidur tapi susah, insomnia siang, karena tadi pagi sudah tidur (baca Crashpack Bumi Ngapak I). Tapi ngantuk, mumpungnya, beruntungnya, kami tiba di Bumiayu dan beberapa pedagang asongan masuk lagi. Aku beli segelas Kopi Jahe untuk dinikmati dengan Oreo.

Rasanya WUENAK. Kopi Jahe + Oreo celupan kopi itu ternyata enak. Worthed untuk 10 Ribu. Menghilangkan kantukku seiring kami turun dari daerah kaki Barat Gunung Slamet. Jam 3.15 Kami sampai di Purwokerto, 45 Menit lebih lambat dari dugaanku (biasanya, kereta Sawunggalih sudah sampai Purwokerto jam 2.30an,,,)

Stasiun Purwokerto, salah satu pemberhentian major selain Cirebon di rute KA ini, memang agak lama berhenti, tapi yang enaknya, kali ini para Pedagang masuk dengan lebih beradab, lebih ramah....dan, aksen Ngapak yang aku tunggu itu akhirnya hadir! Ya, kami sudah officially masuk daerah Ngapak. Lokasi Crashpacking ku untuk 5 hari kedepan.

Jajanan yang ditawarkan lebih banyak (ya iya, Purwokerto gitu). Tempe Mendoan, Kripik Melinjo, Kripik Tempe, dan lebih banyak lagi....Lanting (BUKAN Klantink - Lanting: kerupuk kecil bentuk mirip angka 8) pun ada, dalam hati aku tertawa, "Mbak, aku ra usah ditawari Lanting yo. Aku pengen ke Karanganyar, nang kono omahne Lanting, ora larang, eco maning."

Akhirnya kami berangkat lagi, ketinggian semakin menurun, itu aku tahu lewat di stasiun-stasiun kecil yang kulewati, di Purwokerto masih 75 mdpl (meter dari permukaan laut), lama-lama ketinggian menjadi 57 mdpl, 35 mdpl, 19 mdpl, 15 mdpl.... Kami semakin mendekati tujuan: KARANGANYAR.

Kereta pun melalui jalan datar dan lurus terus, kami sudah melengkapi pertukaran dari jalur utara ke jalur selatan asli, dan tak lama kemudian kami melewati terowongan gelap panjang selama 1 menit, yang menandakan sebentar lagi Gombong, dan setelah itu, Karanganyar.

Gombong terlewati, dan akhirnya....Karanganyar. Stasiun kecil yang berada di tengah sawah yang familar itu akhirnya kujejaki. Sesampai aku di gedung utama Stasiun, para tukang ojek, bemot (Becak Motor) dan Becak berebut. "Ndi mas? Karanggayam?" Yang lain terus bertanya-tanya, contohnya salah satu "Loring Pasar mas? Telung'ewu bae. Aku bae mas." aku kali ini menegaskan bahwa rumahku dekat, dekat alun-alun, "Wonten mas, wonten, cedhak iki, alon-alon, dalan bae aku. Wis rapopo." Aku menolak, sampai aku belok ke jalan yang lebih kecil menuju Alun-alun barulah tukang-tukang itu pergi dari mengerumuniku. Aku disambut pemandangan yang langsung menggugah semangatku - bianglala kecil, kereta api kecil model Taman Mini, stan-stan makanan manis, Martabak, Gulali, pedagang baju dan tas dan VCD bajakan.....ah, Pasar Malam! Aku lihat jamku menunjuk jam 4 lebih 10. hampir 1 jam lebih lama dari perkiraanku aku sampai di sini.

Sayangnya aku tidak membawa SLR, kalau aku bawa SLR aku bisa bawa nanti malam untuk foto-foto, karena kamera digital nikon ku tidak cukup...dia tidak bagus jika dibawa malam hari. Jadi aku berhenti dan mengitari sisi Barat alun-alun dulu, memotret semua persiapan keramaian itu selagi Lensa Nikon Coolpix ku masih bisa mentolerir cahaya senja.

Aku lega, jujur, sebuah rasa wah bahwa aku bisa sampai Karanganyar sendiri dengan selamat sentosa....jadi aku kitari alun-alun dan langsung ke Masjid Raya dulu, dan Solat Jama' Qashar sebelum kembali memotret alun-alun dan sekitarnya, dan masjid juga.

15 Menit aku puas dengan foto-foto itu, dan aku berjalan ke arah Pasar kini, ke arah rumah Mbahku. Dan aku pun sampai akhirnya. Awalnya kosong, aku pun heran. Harusnya ada, karena Mas di Jakarta sudah nelfon mereka paginya. Harusnya mereka ada di rumah (Mbah Kung dan Mbah Putri).

Aku pencet bel kecil di luar rumah 2 kali hingga akhirnya Mbah Putri menyambut ku. Aku bertanya di mana Mbah Kung dan dia jelaskan, katanya dia pergi menjemput ku, barusan saja. Ternyata aku sudah balik terlebih dahulu...

Ya, kami tunggu hingga jam 5 sore barulah Mbah Kung kembali dengan sepeda elektrik made in china nya, dia tersenyum melihat ku sudah datang. Kami saling tertawa karena kami menyadari kami masing-masing jalan sendiri, dia padahal awalnya berniat ingin jemput di stasiun tapi aku sudah jalan duluan...

Kami masing-masing berjalan sendiri....

Tapi dengan segelas teh dan gorengan, semua itu pudar, tandas, menjadi tawa lega kekeluargaan di sore hari di Karanganyar itu.




Next Post: Pasar Malam

Thursday, May 5, 2011

Crashpack Bumi Ngapak (I): Suwi ora dalan

Akhirnya, hari ini, tertanggal Bulan 5 Tanggal 5 Tahun 2011.... *gaya baca naskah proklamasi* terputuskan sudah bahwasannya saya akan.....memulai Crashpacking ke kampung bapak dan sekitarnya (tanya kenapa, liat Crashpack Bumi Ngapak: Prologue, ke suatu daerah di Bumi ini yang terkenal dengan kesederhanaannya, dan gaya khas aksennya yang sangat unik, yang sering dibilang sebagai "Ngapak".

Tentunya kalau yang Wong Jowo, tahu, orang yang Ngapak itu dari mana....dari tapal batas antara Jawa Barat sampai daerah Jawa Tengah 'elit' alias Semarang & Jogja....ya, sebuah daerah besar yang mencakup Purwokerto, Banyumas, Kebumen, Banjarnegara, Purworejo....dan sekitarnya, bahkan bagi beberapa orang, Tegal dan Brebes masuk hitungan karena aksennya juga mirip.

Mungkin banyak yang belum tahu, saya terlahir dari keluarga moderat, biasa saja...kampung dari keluarga bapak adalah di daerah Kebumen, tepatnya di Karanganyar (BUKAN Karanganyar yang cedhak Solo, yo). Karanganyar sendiri terletak kira-kira 7-8 kilo sebelum Kebumen dari arah Jakarta. Sebuah kota kecil yang damai dan penuh kesan. Sangat berwarna tapi juga mendamaikan hati di satu sisi.

Lebih tepatnya lagi yang tinggal disana adalah Mbah Kung alias Grandpere/Kakek/Aki/Pops. Dia tinggal di rumah tua di dekat alun-alun kota (atau kalo takon/tanya ke tukang becak, bilang saja 'wetanan gadean' -timur Pegadaian-)

Seperti banyak rumah tua di Jawa, rumah nya sendiri ada di satu kompleks yang terdiri dari sekitar tiga rumah dengan satu pintu masuk yang sama dan satu halaman besar ditengah. Rumah ini cukup sumpek karena banyak barang *jujur* apalagi karena sering menyimpan stok barang, maklum, Mbah masih bertani meskipun sudah berumur.

Aku pergi ke sana untuk jalan-jalan, dengan CRASHPACKING, tidak ada persiapan selain barang bawaan. Itupun cuman baju, uang, dan kamera. Sisanya? Pikirkan di jalan. Akomodasi? Di rumah keluarga, kalau belum sampai, cari Mesjid. Sesederhana itu. Crash-Backpacking kawan, Backpacking yang nyaris tanpa perencanaan *tapi bukan berarti nekat juga*

So hari itu, aku putuskan pergi saja dengan Kereta, biar enak. Langsung aku tancap gas ke Utara, ke Stasiun Senen tentunya. Tempat Kereta Lintas Selatan ada,,,awalnya ada 2 pilihan, Sawunggalih (berangkat jam 8, Bisnis) atau Bogowonto (Berangkat jam 9, ekonomi-AC). Dilihat-lihat, Sawunggalih 95000, Bogowonto 85000. Beda hanya 10 ribu ya, tapi kita lihat, Bogowonto Ekonomi dan berhenti di lebih banyak tempat. Artinya apa? Itu artinya lebih banyak orang, sumpek, dan lebih lama sampai Karanganyar. Sawunggalih mungkin Bisnis yang gak pake AC, tapi stop lebih sedikit daripada Bogowonto.
So, pilihan jatuh pada Sawunggalih.

Saat itu masih jam 6.30, ya, cepet banget, kecepetan mungkin, tapi masalahnya awalnya kami ingin naik Fajar Utama arah Jogja, tapi setelah sedikit tilak-tilik lagi, ternyata Fajar tidak berhenti di Karanganyar, tapi di Kebumen, yang berarti kalau mau ke Karanganyar harus tambah angkot, yang berarti lebih mahal justru.

Akhirnya, Camen lah yang terjadi - ya, Camen, bukan Cacat Mental tapi Cari Makan Enak, di Stasiun Senen. Hari masih awal sekali dan sedikit yang buka, dan tentunya, karena masih sedikit orang, susah tahu mana yang enak berdasarkan panutan pertama para Foodie: Makanan Enak = Rame! Ya, masih sedikit orang, dan susah tahu mana yang rame mana yang enggak.

Setelah sedikit baputar-putar, diputuskanlah, makan di Soto Ayam Lamongan. Ternyata cukup enak, yah bukan enak-enak banget sih, tapi kalau untuk standar Soto Ayam yang baik, enak, dan bersih, dia lulus. Kalau dibilang NEM, emang bukan maksimal sih, tapi biar dapet RSBI atau PTN Unggulan bisa lah.

Jam menunjuk angka 7, aku masuk ke dalam, menunggu 1 1/4 jam bukan hal enak, oleh karena itu tentunya beli koran untuk mengencerkan suasana, sekalian cari batere cadangan dan bekal makan kecil (aka Kudapan) di kereta....

Sing nggilani, Batere Alkaline untuk Kameraku, di Stasiun, LARANG MEN, MUAHAL. 12 Ribu Broo! Biasanya Alfamart 8900 juga dapet. Gila bro. lonjakan 30%. Duh, ini pasti gara-gara harga buka lapaknya juga mahal....yo pihak stasiun netepin harga sewa tempat lapak ya yang murah juga lah.....toh untuk kesejahteraan rakyat bersama ini. Tapi akhirnya aku beli 2 juga, untuk jaga-jaga

Hadirlah jam 8.15, ternyata belum muncul juga kereta Sawunggalih itu. Kutunggu 5 menit kemudian baru datanglah ia. Kereta api bisnis Sawunggalih itu. Bukan masalah, aku ambil tempat dudukku, disebelahku wong Kebumen, bapak-bapak usia 35-an. Aksen Bumennya masih ada meski sudah agak termakan desakan 'meng-Indonesia' dari Jakarta

Ia bilang ia balik ke Kebumen nengok keluarga, kami mengobrol banyak di jalan, mulai dari rumah, keluarga, olahraga, hobi, keadaan di jalan....cukup enak dan friendly orangnya, seperti halnya kebanyakan orang Indonesia lainnya. Aku salut. Dia sudah cukup lama di Jakarta namun masih mempertahankan sisi positif dari ke-'kampung'-annya. Tidak seperti yang aku lihat di beberapa orang yang menjadi terlalu 'kapitalis' dan...egoitik.

Perjalanan awalnya mulus-mulus saja, aku berusaha untuk tertidur tapi tidak bisa, sementara si mas'e sebelah ku ini setelah meninggalkan area Jabotabek sudah mulus tertidur, tapi akhirnya, aku juga tertidur. Tapi hanya sekitar 2 jam. Meskipun rasanya seakan sudah lama sekali. Aku kira waktu pertama kali bangun, "Huf, bentar lagi Cirebon....5 jam, jam 12-1 an, kok gw belum laper ya?". Ta' cek Jam dan ternyata baru jam 10.30. walah. Tapi tak lama kemudian jam 11 kami sampai di Cirebon.

Ku pesan makanan dan minum, komplit, Nasi Rames dan Es Teh, sengaja karena pedagang asongan mulai banyak masuk, 'meneror' dan 'menggoda' iman kami penumpang yang ingin berhemat. Dagangan banyak dijajakan, komplit, makanan? Wah jangan ditanya, Nasi Rames, Pecel, Pop Mi, Mi Jawa, Rujak, ada. Kudapan alias makanan kecil? Apa lagi. Biskuit, Sale Pisang, Wingko Babat, Jenang/Dodol... bahkan yang aneh-aneh pun ada, Kacamata Hitam, Mainan Bayi yang kalo ditarik ujungnya keluar bunyi Tenottenanenanot *Norak bener*....Komplit. Aku pikir lagi. Perkataan orang-orang kalau katanya Kereta itu Pasar Bergerak benar juga.

Aku habiskan makananku untuk Rp 19000. Anehnya bahkan setelah habis makanan dan jarum jam di jam tangan mulai bergeser condong ke arah pukul 12, kereta belum bergerak, malahan, kami 'disalip' kereta lain yang lebih cepat berhenti di Cirebon. WUSH. Kok iso? Ono opo iki? Aku pun tidak tahu. Tapi kami tersendat di Cirebon cukup lama. Yang nggilani nya, pedagang-pedagang itu seakan tidak pernah berhenti, selalu ada menjajakan barang dagangannya. Dan berkali-kali pula aku harus mengatakan berkali-kali kepada para pedagang itu, "wonten mas" atau "wonten mbak" *wonten=kata menolak/nggak*.

Tapi akhirnya iman ku jatuh pula, aku putuskan untuk membeli dari salah satu pedagang itu, segelas Wedang Jahe Anget berharga 3 ribu rupiah. Ya, karena aku masih dilematis mengenai tidur setelah makan atau tidak, karena dalam pikiranku aku paranoid, takut kebablasan sampe final destination kereta ini, alias Kutoarjo, yang notabene 25 Kilometer dari Karanganyar. Yang artinya gonta-ganti angkot beberapa kali. Aku pikirJahe akan membantu, ternyata tidak banyak. Betul, ketika kita minum jahe rasanya tenggorokan lega, gitu juga kuping jadi anget dan dada juga, tapi tidak ngilangin ngantuk, cuman rileks.

Aku coba nikmati lama 'pitstop' di Cirebon dengan Wedang Jahe itu. Setidaknya lebih rileks dan lebih sabaran...hehehe, sambil lalu aku juga mengamati para pedagang, berjibaku mencari setidaknya sekedar simpati dahulu dari para pelanggan, yang kelak bisa dikembangkan untuk menjadi simpati untuk membeli produk *duh bahasanya*.

Para pedagang asongan ini, uniknya, memakai satu rompi yang sama, warna hijau fluorescent seperti di rompi pekerja proyek bangunan (yang bener, bukan yang eseng-esengan) dengan cap "Persatuan Pedagang Asongan Stasiun Cirebon". Salut juga aku, mereka berani membuat semacam Paguyuban. Tapi sampai batas apakah Paguyuban mereka dapat berkarya? Itu yang aku tak tahu, tapi setidaknya, kesan pertama dengan rompi seragam itu memberikan pesan baik.

Akhirnya kami keluar juga dari daerah Cirebon, lanjutkan perjalanan, tapi setelah sudah agak lama. Tak lama kemudian, di Ketanggungan dan Prupuk, kami berhenti lagi, kali ini cukup lama pula. ARGH. Kali ini tidak ada pengalih perhatian, aku gusar, bosan, gak sabaran. Dan mulai ngaco, aku pun mendendangkan dengan Lama (LAgu MAksa buatan sendiri) sekali, berdasar dari lagu 'Suwe ora Jamu'


"Suwe ora dalan
Dalanin sepurne
Sepurne ora dalan
Yo jam piro aku nang Krangnyar...."

(Lama gak jalan, jalanin keretanya, keretanya gak jalan, ya jam berapa aku di Karanganyar)

To be Continued

Crashpack Bumi Ngapak (Asal-Usulnya)

Hari itu adalah satu hari Sabtu, kami (aku dan mas) sedang turun ke lapangan, inspeksi bisnis kos2an kami di Manggarai....dan di hari Sabtu kami jalan PP (sePUANAS PANGGANGAN) itu lah, tercetus satu ide 'mulia'... Ini percakapan kami sepanjang jalan.

*Maaf, tapi ini pembicaraannya gado-gado TRILINGUAL *Indonesia-Inggris-Jowo*, maklumi, jenenge bae keluarga kami.*

Mas: "Aku punya plan sih...mending itu Vaio dikasih mbak Iis saja...mbantu dia skripsi.kamu sekalian jalan-jalan sana gih. Daripada ra ono kerjaan nangkring di depan komputer seharian."
Aku: "On what consideration ko tiba-tiba Vaio mau dikasih?"
M: "Mau beli yang baru."
A: "Yang baru apa, Mas?"
M: "Aku sih tertarik iPad....aku mau beliin buat aku, tapi at the end, podho wae, kamu juga make tha"
A: "Wah....ogah, mending buat upgrade full komputer di rumah tuh duitnya."
M: "Serius? iPad iki."
A: "No....aku wis nyoba dari koncoku, dan, somehow, iPad gak berhasil impress my heart."
M: "Hmmm....Ya sudah"

Ya, dari percakapan waktu itu, si Mas berniat untuk memberikan Laptop Vaio mini kami ke mbak Iis di kampung yang sedang skripsi. Ya, itu memang niat mulia. Lagipula dia juga ingin beli suatu mobile gadget yang baru, dia ingin iPad, tapi aku kurang terkesan....

Masalah dengan rencana itu sederhana, mbak Iis di Jawa, tepatnya di Kutoarjo (Dimanakah itu?? *JengJeng* Cari dhewe nang om GoogleMap). Dan mahal untuk biaya mengantar satu pak laptop + tas laptop + chargernya. Paket sekecil itu? WALAH, Larang men. Nilai Cost for Value nya tidak berbanding kalo kata Akuntan keluarga (aka Ibu).

Dan....tercetuslah rencana agar aku pergi sekalian nganter laptop sekalian jalan-jalan sendiri untuk pertama kali. Sayangnya, mau kapan? Minggu depan Ibu yang lagi kuliah pasca-sarjana di Filipina akan kembali ke Jakarta, rare occasion, saatnya melepas rindu, tapi kalau sekarang cukup mepet dan belum ada perencanaan...2 minggu dari waktu itu? TELAT, lu kira dosen nunggu skripsi lama apa? Ya nggak, Laptop Vaio itu harus ada di tangan mbak Iis ASAP.

Akhirnya aku putuskan berangkat secepatnya saja, aku tidak punya waktu untuk merencanakan, hanya sekilas ingat foto-foto dan tulisan-tulisan tentang tempat favorit di kampung kami (Kebumen dskt.), aku putuskan kalau ingin mencari tempat tambahan ya sudah, seperti kata Perkumpulan Guru Geo Senegara (National Geographic), Let's Get Lost!

Walhasil terjadilah, dari hari Rabu kami tetapkan hari Kamis aku berangkat sendiri. Agak hectic memang malamnya, tapi that's it bro. Itu yang aku kira harus disebut Crashpack, alias crash-backpacking. Backpacking dengan rencana minim seminim-minimnya, pokoknya mengandalkan insting, pengalaman, dan spirit avonturir tinggi. Sesederhana itu.

So with it, began my Crashpack to Bumi Ngapak (Kebumen, Purwokerto dskt)