Saturday, December 10, 2011

Mom's Manila Graduation! Part 1

Feeling a Stranger on Friendly Soils
Comment un Etranger chez Amis


Yes guys.
Setelah lama akhirnya gw balik lagi nulis.

Ya, seorang "gue" yang slengean dan cengengesan.....
Malem ini, tepatnya pagi ini waktu Singapur (tempat sekarang gw berdiri -dan gw serius, berdiri ngambil Internet gratisan di budget terminal). Gw sedang feeling aneh.

Ya, judul yang gue pilih menjelaskan outline cerita gue pagi ini; feeling a stranger in friendly soil... menjadi seorang yang 'tersesat' di antara kondisi yang (tampaknya) cukup friendly, mirip, dan bersahabat....

So here's the story.
Gue sedang transit, sekarang saat tulisan ini pun ditulis gue masih transit di Changi, Singapur. En route ke tujuan gue Manila di Filipin sana. Ada apa tiba-tiba seorang wong nDeso ngKuta kaya gue bisa hinggap ke Manila? Simplecement, boys; emak ku mbakalan wisuda S2 (Yeay!). Yeah, di umurnya yang udah 4,5 dasawarsa itu dia masih mau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hebat pula ia dapat beasiswa dari ADB, sekolahnya di Manila Filipin. Tempat yang sama bokap gue kuliah S2.

Hmh, sore-sorenya. Jakarta, Airport, Cengkareng, Soetta. Semua oke. Semua berjalan baik, naik Tiger Airways, makan di Lounge-Lounge Airport mahal itu dengan gratisan gara-gara bokap gue mengeluarkan kartu-kartu saktinya....*baca: credit card premium yang banyak gratisan, . Sayang Lounge yang gue singgahin agak nanggung, soalnya kartu "tersakti" (dari "Bank Lokal Dunia") bokap gw ketinggalan jadinya ga bisa masuk gratisan ke Lounge exklusif....

It all goes well. Masuk ke Tiger Airways, semua masih ok, all Indonesians. All brothers and sisters - Bokap langsung tidur begitu pesawat udah stabil, gue seperti biasa kalau night flight justru susah tidur. belakang gw ngoceh terus - maklum, dari percakapan yang gue denger, mereka anak ITB teknik industri yang baru lulus and mau celebrate "kemenangan" nya di Kota Singa. Depan gue anak-anak Singapo' Malay yang kembali ke kampung halaman setelah sesaat di Jakarta, sebelah gue n bokap ada cosmopolitan mommas, mak-mak muda yang jalan-jalan dengan style keblinger....blackberry n lipsticks on the pouches. Berbicara tentang Marina Bay Sands, Takashimaya, dan... well, shop and glamours down the lights of the city of Lions

55 menit kemudian- jam 11 waktu Singapur kita sampe di Changi Budget Terminal, Imigrasi dkk. semua gampang, jipil, but waktu kita mulai beranjak ke Departure Budget Terminal (kita notabene cuman Transit 2 jam), kegilaan terjadi saudara-saudara. Disini dia CERITANYA:

Kita berdua, in the middle of night jalan dari arrival ke departure, cuman beberapa menit - masuk ke daerah check-in, langsung ke queue barisan Tiger Airways ke Manila pagi itu; belum banyak orang. Didepan kami beberapa pinoy yang mau balik ke kampung halaman, Boss bilang "iku mbatur-mbatur" nunjuk kepada beberapa perempuan didepan kami - Yes, Pino memang salah satu Negara yang banyak pekerja luarnegerinya selain Indonesia, terutama juga TKW yang jadi Batur alias PRT (nanny/nan) atau, sopannya, househelper/assistant. Atau kata orang mereka, "Balikbayan".

Dari pertama kali melihat antrean para Pinoy didepan kami, kami bisa lihat - mereka ga jauh beda dengan kita; para Balikbayan yang mulih ke kampung halamannya itu membawa banyak oleh-oleh, bahkan ada yang membawa TV LCD dengan pakaian ungu yang "glimmer" dan sepatunya? Reebok Reezig! dkk. nya - sama saja, a show of so-called "achievement" kepada mereka di Barangay/kampungnya setelah bekerja keras di perantauan; untungnya, otoritas bandara disini sadar diri akan itu - mereka sampai buat counter "Odd Size Baggage Drop" buat mengangkut benda-benda "eksibisi prestise" itu. => Harusnya Soetta mencontoh ini buat fasilitasi para TKI Tapi Ada juga yang sederhana saja, cukup membawa diri dan koper kembali dengan 1-2 kantung palastig berisi oleh-oleh.

Tapi para orang-orang yang kembali ke Manila bukan hanya para Balikbayan ini; ada juga solo traveler dengan tampang dan tas backpacker besar yang tampaknya merasa puas dengan perjalanan dan beberapa turis keluarga, dengan berbekal tas backpack ukuran menengah dan kamera DSLR Canon ditangan sang ayahanda, laptop di tangan si anak perempuan dan sang Ibu dan adik laki-laki bersenda gurau membawa koper-koper carbonite American Tourister, yang, setau gue, mahal.

Tak lama setelah kami check-in selesai, antrian memanjang, sangat panjang; tampang dan paspor masih sama - Pasaporte Pilipinas. Gue tanya pada Boss bokap, "Ngejar Year-End ya? Kan masih lama mereka...". Langsung Bokap menuntaskan jawabannya "ngejar natalan, kan kebanyakan Pinoy katolik." Gue segera sadar, Pinoy memang kebanyakan Katolik; Natal memang menjadi semacam ajang 'mudik' juga bagi orang-orang Katolik. Tak usah jauh-jauh, sahabat gue yang sekolah di sebuah SMA Katolik yang prestis di Jakarta, awal Desember udah selesai ujian dan siap libur. "Cepet amat dai, gue aja baru mulai ujian." Tukas gue. Dia jawab "Ngejar libur panjang natal bro katanya. Gue sih ikutan seneng libur panjang aja, hehehe."

Figur-figur yang makin beragam menunjukkan mukanya di antrian check-in itu; mulai dari para Balikbayan yang glamor, yang sederhana, backpacker Pinoy sejati, turis sekeluarga, rombongan ataupun yang gak pake jasa travel...pebisnis Pinoy yang tampaknya baru selesai lobi dengan koleganya di Kota Singa ini, sampai keluarga Pinoy yang berpaspor United States of America (kata bokap lumayan banyak orang Pinoy yang di Amerika, gue sih, udah tau - pemain bola Filipin pas lawan Indonesia kan banyak ngambil dari yang bi-nationality Pinoy-Amrik). Semua menuju penerbangan Tiger Airways dan Cebu Pacific, penerbangan malam terakhir (penerbangan pagi pertama kalo lihat dari jam, hihi)

Laper, kami pun mendekat ke McD yang ada didekat counter check-in. Baru ngantri, Boss teringat "shit, gue lupa... Dolar Singapur. Dek, tanyain gih mereka accept kartu gak." Aku tanya saja dan kata mereka credit card diterima, yo wis, kami pun makan Kentang, Cheeseburger, dan McWings 4 biji dengan minum Coke.
Saat duduk dan makan disitulah, gue merasa sangat, well... sens etranger, merasa seperti orang asing; muka-muka disekitar kami nampaknya sangat familiar, tapi suara yang keluar dari mulut mereka...

"Ta'ping tapos na?" "Talaga!" "Ka sini to' sa..." "Ah... bang! Mabuhay! Sini ka' lah" "Parapaning pangaban.."

whew, man, two lonely Jakarta guys stuck in a restaurant full of people speaking a language they don't even understand - Tagalog. Meskipun pengalaman bokap tinggal di Manila mengajarkannya beberapa Taglis (Tagalog-Inglis) slank khas Metro Manila (Jabodetabek-nya Filipin), tapi ia juga tak tahan dengan kegilaan itu. sekitar 10 menit setelah kami menghabiskan makan, meskipun boarding time masih cukup lama, ia mengajakku untuk lebih baik masuk ke dalam, ke area tunggu, bukan di depan dekat counter-counter check in.

Kurang dari setengah jam kami merasakan itu. Tapi man, buat gue yang baru pertama kali merasakannya - perasaannya sangat.... aneh, nggilani. Feels weird, kalo di kelas Prancis dulu - je suis etranger. Bayangkan sendiri, di ruang luar, check-in; no other people bicara Indonesia - hampir semua Taglis, hanya ada beberapa bule yang nasibnya sama seperti kami. Jumlah orangnya banyak, banyak banget untuk ukuran Airport, dengan barang bawaan yang banyak seperti kalau kita mudik, perangai-kebiasaan dan muka yang mirip. Seakan-akan, man, ini Indonesia tapi gak pake bahasa Indonesia. Kedengerannya ngebaca satu kalimat tadi pasti aneh. Aneh banget, tapi it's the real feeling, man.
Bokap yang sudah sering jalan-jalan ke banyak Negara (+- 20 Negara, seingetku) pun dari bahasa tubuh dan matanya terlihat masih agak feeling weird dengan itu....

Aku seketika teringat tulisan Ka' Trinity di TNT tentang pengalaman dia di Filipin, lupa sih persisnya, tapi ceritanya cukup sama.... bedanya dia ngalaminnya di Cebu, yang memang, well, udah biangnya di Filipinnya sendiri, ini kami berdua belum sampai Manila, baru di Changi aja udah begini. Sempet juga beberapa kali di ajak ngomong Tagalog. Gue sih tanpa sadar dengan otomatis cuman ngangguk-"senyum monggo" khas Jawa yang kental tanpa keluar kata - terkaget sekaligus kagok dengan kondisi yang seperti ini.

Maklum namanya juga traveler yang masih dan terus belajar, hehe. Betul guys? :) ^

Untungnya di ruang tunggu kami menemukan kenyamanan yang bernama Internet dan TV, sehingga setidaknya ada pengalih perhatian untuk sesaat, ya, saat sekarang gue sedang menulis tulisan ini juga.

Well, apparently, lampu boarding sudah nyala di TV Display Flight Schedule, jadi, gue harus secepatnya kesana - sebelum "badai antrian" datang....

Cheers guys, see you next in my writing tentang our first day di "Nusa Utara", Kepulauan yang di Utara Indonesia a.k.a Pinoy - tempatnya di 123 Paseo de Roxas, Makati City, Metro Manila, Luzon, the Philippines.

Ton ami,
-MAr
Budget Terminal Changi Airport, Singapore, 01:32 AM, 09122011